Pemerintahan    Pendidikan    Kesehatan    Pariwisata    Perhubungan    Pelabuhan    Dukcapil    Damkar    PU Jalan    PU Air    LMK    KBN    PKK    BPN    PMS    P2B    Tokoh   
Home » » Sekolah Kehidupan Bernama Metro Jakarta Utara

Sekolah Kehidupan Bernama Metro Jakarta Utara

Posted by JAKARTA UTARA on Kamis, 22 November 2012

Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara

Saya ingat sekali, sore itu saya baru melangkah keluar dari kos (yang baru saja diisi perabot itu) ketika telepon itu masuk. Sayangnya saya lupa siapa yang menelepon, yang pasti tulisan yang muncul di layar BB saya adalah "kantor".  

Adisti, kamu ditempatin di Metro Jakarta Utara, ya. Kamu pegang berita perkotaan, tapi kamu harus siap cover kriminal juga sekali-kali. Wartawan-wartawannya biasa nongkrong di warung samping polres. Kenalan dulu aja. Nanti kalau sempet mampir ke polsek-polsek, ke kantor walikota, bla bla bla... 

Aduh, aduh. Sekeliling saya seketika gelap rasanya.

Okelah, jadi wartawan memang cita-cita saya sejak dulu. Tapi yang saya bayangkan soal profesi ini adalah: wawancara eksklusif sama menteri siapalah, ikut perjalanan dinas presiden ke manalah, investigasi soal korupsi di lembaga apalah... Bukannya nongkrong di kantor polisi atau lari-lari meliput kerusuhan.

Metro, merupakan satu desk yang dianggap momok, bahkan bagi reporter senior sekalipun. Beda dengan para reporter Desk Ekonomi dan Bisnis yang sering menghadiri undangan liputan di hotel bintang lima, pulang membawa sekantung goodie bag, dan bergaul dengan para dirut; atau para reporter Desk Nasional yang berkeliaran di tempat-tempat kebijakan negeri ini dibuat dan bisa sedikit menyombong, "Kemarin Menteri A telepon saya, klarifikasi soal kasus yang itu.", para reporter Desk Metro harus siaga 24 jam sehari 7 hari seminggu kalau-kalau ada kerusuhan, kebakaran, banjir, bom meledak, atau apalah. Juga harus selalu mobile keliling pos liputannya, kalau-kalau di pelosok sana ada ibu yang membunuh anak kandungnya, atau di ujung sana ada gedung SD yang mau roboh.
 


Dan Jakarta Utara, bukanlah pusat pemerintahan dan bisnis seperti Jakarta Pusat atau Selatan. Jakarta Utara, dalam bayangan saya, adalah daerah pelabuhan dan industri yang "keras". Tempat kejadian kriminal tumpah ruah. Panas, semrawut.

O O O O O H H H . . . W H Y M E , G O D ? ? ?

***

Long story short,
setelah tiga bulan, setelah semua orang bilang, "Dis, lo kurusan dan iteman.", setelah berbagai versi surat pengunduran diri yang akhirnya cuma jadi draft, ternyata saya belajar banyak dari hal yang tadinya amat saya benci. Saya belajar bahwa dunia nyata, ternyata, tidaklah manis dan berwarna-warni bak gulali.

Rasanya semua yang saya pelajari selama kuliah empat tahun lebih, semua idealisme semasa meneriakkan Salam Ganesha bla bla bla itu, semua mimpi masa kanak-kanak, semua tidak ada artinya lagi. Ya, inilah dunia nyata. Selamat datang di dunia nyata. Tidak ada silabus, tidak ada textbook, tidak ada kelas. Tidak ada jadwal ujian karena sepanjang saya bernafas dan membuka mata adalah ujian.

Saya belajar dari pedagang asongan buta huruf yang didakwa sebagai pengedar ganja.
Dari pensiunan petugas pemadam kebakaran yang nyawanya hilang ketika melawan kebakaran besar di pabrik sandal.
Dari bocah lima-enam tahunan yang mengacungkan celurit dan (merasa) mengerti tentang jihad.
Dari guru SMP yang memaksa saya menerima "amplop".
Dari penjaja kerang hijau yang keukeuh berjualan walaupun Teluk Jakarta, tempatnya membudidayakan kerang jelas-jelas sudah dinyatakan tercemar Merkuri.
Dari buruh bongkar muat pelabuhan yang terkatung-katung setelah di-PHK.
Dari kakek yang cucunya meninggal karena ledakan tabung gas tepat di hari ulangtahunnya yang keenam.
Dari tukang becak dan pedagang kaki lima yang kena gusur, maupun Satpol PP yang menggusur.
Dari massa (yang jumlahnya ribuan, yang datang tiba-tiba entah dari mana) yang sedemikian mudahnya terprovokasi dan membakar apa saja yang ada di depan mata.
Dari anak-anak yang makan, tidur, belajar, dan bermain di kolong jalan tol sepanjang hidup mereka.
Dari supir truk kontainer yang tanpa dikurangi pungli pun penghasilannya tidak cukup untuk menghidupi enam anak.
Dari warga yang mengamuk dan merusak ruko yang baru dibangun di pemukiman mereka.
Dari nelayan yang tidak bisa melaut karena tidak mampu beli BBM dan beralih profesi jadi pemulung.
Dari remaja tanggung tidak tamat SD yang membunuh karena cemburu.
Dari satu keluarga yang rumahnya ludes dihanguskan api dan hanya punya baju yang melekat di badan.
Dari pedagang es potong yang tusuk-tusukan pakai pisau pemotong es karena persaingan harga yang cuma selisih 100 rupiah, di depan SD tepat pada jam istirahat.
Dari oknum polisi yang mencak-mencak ketika saya todong soal keterlibatan polisi dalam perampokan warung mie dan apotik.
Dari ABK yang (entah bagaimana) mendorong rekannya ke laut saat mabuk dan baru sadar berhari-hari kemudian.
Dari massa yang sempat-sempatnya menjarah di tengah ribuan orang yang sedang bertikai, celurit, lemparan batu, dan gas air mata.
Dari tuna rungu yang ikut demo.

Juga dari para begundal utara (sebutan untuk para wartawan Metro Jakarta Utara-red), mulai dari yang paling idealis sampai yang paling getol mengumpulkan "amplop".

Dan, di usia yang sudah menginjak 23 ini, saya belajar sesuatu soal cinta. Cinta tidak buta. Cinta hanya menutup mata. Tapi kalau mau kita bisa kok, memilih untuk membukanya. :)

 
Mungkin saya memang harus berterima kasih pada Metro dan Jakarta Utara. Untuk tiga bulan yang membuat saya jadi tiga kali lipat lebih kuat. Well, what doesn't kill you makes you stronger. Yah, setelah puluhan kali menyambangi kerusuhan dan kebakaran, liputan sambil lari-lari menghindari lemparan batu dan gas air mata, disuruh standby di lokasi kebakaran semalam suntuk, menunggui kamar jenazah, melihat darah dan potongan tubuh, melihat bandeng (bahasa sandi polisi untuk mayat-red) dalam kondisi mengenaskan, nongkrong bareng para intel dan kriminal, apa lagi sih yang lebih buruk yang bisa terjadi?

SHARE :
Kang Lintas
 
 
Copyright © 2014 JAKARTA UTARA. All Rights Reserved. Powered by Lintas Daerah
Template by Creating Website and Kang Lintas