Marunda, pada siang hari nampak biasa-biasa saja hanya di balut dari sinar langit yang cerah. Matahari terlihat mulai sedikit tergelincir ke barat. Sudut yang terbentuk akibat kemiringannya itu membuat sang surya tak begitu terasa menyengat. Daya bakarnya jinak oleh angin yang bertiup pelan dari pantai.
Di pojok kampung, di sudut timur lahan terbuka, seorang laki-laki duduk menyandari pohon kelapa. Sepertinya tak kuasa menahan kantuk. Di depannya, belasan ekor kambing merumput tak peduli. Sementara di arah barat, 200 meter dari tempat laki-laki itu tertidur, empat bocah telanjang dada asyik mengubek-ubek empang. Mereka tak kehilangan keceriaan meski sebenarnya air tinggal tersisa sedikit. Berbekal kantong plastik, anak-anak itu berebutan menangkap ikan-ikan kecil sejenis mujair.
Sesekali, teriak girang bocah-bocah memecah kesunyian. Kambing yang mengembik menimpali tawa mereka. Begitu suara-suara sesaat itu lenyap di telan udara terbuka, tinggallah alunan shalawat dalam sayup-sayup pengeras suara. Terdengar khudus.
Percayakah anda bahwa susana khas alam pedesaan itu, ya di Kelurahan Marunda, hanya berjarak 20 kilometer saja dari jantung Jakarta! Alias, tak lebih satu jam perjalanan dari kawasan Sudirman yang menjadi etalese ibu-kota-bahkan bagia sebagian orang mengingatkan pada kawasan Manhattan.
Bukankah ini unik: ketika pria diatas tengah menikmati kantuk siangnya di bawah pohon. Pada saat yang sama seorang pialang mungkin lagi tegang menyimak pergerakan indeks saham di lantai bursa-di sudut Jakarta yang lain. Masih tidak jauh dari sana, serombongan demonstran barangkali tengah menegangkan urat leher di depan Istana Merdeka memprotes kenaikan berbagai tarif. Dan, pria itu tengah terkantuk di hela semilir angin lautan...
Kawasan Marunda bagai tengah menggengam sejarah ditengah gebalau Jakarta yang kini telah menjadi megapolitan. Marunda seperti hanya melangkah sejengkal demi sejengkal, sementara sudut Jakarta lain telah melesat ke dalam jaringan cyber nir-batas. Inilah potret kawasan yang menyisakan jejak-jejak masa lalu Batavia, tetapi seperti tak ada lagi yang sudi mempedulikannya saat ini.
Terletak di ujung Timur kawasan Jakarta Utara, Marunda berbatasan langsung dengan Kabupaten Bekasi. Pesisir yang akrab dengan jilatan air laut dari Teluk Jakarta ini menyimpan sejarah panjang perjuangan masyarakat Betawi menentang penjajahan, hingga terbentuknya kota Jakarta.
Ada banyak versi mengenai asal-usul nama Marunda. Salah satu versis disebutkan dalam Historical sites of Jakarta (A. Heuken SJ/2000), Marunda berasal dari nama seorang jawara setempat, yakni Si Ronda. Inilah jago silat yang dalam kepercayaan masyarakat Betawi memiliki sifat budiman: pembela rakyat yang ditindas oleh para tuan tanah. Namun, dalam buku yang sama disebutkan bahwa versi diatas boleh jadi meleset. Sebab, nama Marunda sudah dikenal sejak abad 17, jauh sebelum legenda Ronda diatas dikenal.
Sementara itu Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta memcatat data, nama Marunda berasal dari kata Merendah. Hal itu merujuk dari sikap warga setempat yang dalam tata pergaulan sosial memiliki sifat rendah hati terhadap sesama. Kemudian kata itu berubah menjadi Marunda.
Apapun, Marunda juga menyimpan kisah heroisme yang merujuk pada nama-nama legendaris bagi warga setempat, seperti, Si Pitung , Si Mirah, dan lain-lain. Pada nama-nama itulah warga setempat menyandarkan kebanggaannya, bahwa leluhur mereka pernah menyumbangkan arti bagi perjalanan bangsa ini. Bahwa kepingan sejarah Marunda cukup berarti banyak bagi Jakarta yang kini telah melesat sedemikian rupa.
Meski tak sehijau daerah pegunungan, alam Marunda kini masih menebarkan hawa segar. Maklum, Marunda belum begitu kenal dengan pekatnya asap pabrik atau asap knalpot bus rombengan yang tiap hari berseliweran di Jakarta.
Kemacetan lalulintas juga menjadi barang asing di Marunda. Jalan hitam beraspal kini memang telah membelah Marunda hingga ke ujungnya. Namun, sampai saat ini, baru ada satu jenis angkutan yang bisa menghubungkan Marunda ke Cilincing, Jakarta Utara. Mobil kecil yang lebih dikenal KWK (Koperasi Wahana Kalpika) itu pun jumlahnya masih jarang. Jarak waktu satu mobil ke mobil lainnya biasanya mencapai 15 sampai 20 menit.
Beberapa sudut kelurahan Marunda bahkan belum bisa dimasuki kendaraan beroda empat. Kondisi sebagian kampung yang berwujud empang-empang, menyulitkan akses transportasi ke sana. Marunda Pulo, misalnya, hanya bisa dimasuki ojek sepeda motor yang pangkalannya ada di Cilincing-sekitar 3,5 kilo meter dari Marunda. Itu pun, sepeda motornya harus menyeberang lewat jembatan gantung kali Blencong yang memisahkan Marunda Pulo dengan tetangganya.
Absennya sarana transportasi modern di Marunda Pulo ini memang ironis. Soalnya, di kampung itulah sejumlah peninggalan sejarah Jakarta masih tersisa. Di sana, ada mesjid Al-Alam peninggalan Fatahillah dan rumah Si Pitung-Robinhood Betawi yang melegenda di kalangan warga asli Jakarta.
Corak kehidupan pedesaan yang masih menonjol di Marunda juga tampak pada pola pergaulan hidup yang masih sangat akrab. Kehidupan sesama tetangga tidak jarang masih diwarnai hubungan saling kenal secara pribadi. Tidak jarang, di sesama tetangga masih ada ikatan darah atau silsilah kekerabatan. Di samping itu, warga Marunda pun masih punya banyak kesempatan untuk berinteraksi. Pengajian rutinan, misalnya, biasanya sekaligus menjadi ajang untuk bercengkrama.
Derap pembangunan bukan tak menyentuh Marunda. Sejak awal tahun 1980-an, masalnya, di bagian wilayah barat Marunda telah dibangun kawasan industri raksasa: Kawasan Berikat Nusantara (KBN). Akibatnya, satu RW, dua RT, dan kantor kelurahan terpaksa dipindahkan ke Marunda Baru.
Perkampungan warga "tergusur" di Marunda Baru kini sudah ditata rapi, mirip kompleks perumahan di perkotaan. Selain lorong-lorong kampung yang beraspal, Marunda Baru juga sudah dilengkapi sejumlah fasilitas umum dan fasilitas sosial. Di sana, kini ada alun-alun kelurahan yang bisa dipakai lapangan bola dan sekolah menengah atas.
Simbol pembangunan lainnya, di Marunda kini sudah berdiri dua sekolah tinggi di bidang pelayaran. Salah satunya, Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP), merupakan reinkarnasi dari Akademi Ilmu Pelayaran (AIP) yang dulunya ada di Jalan Gunung Sahari.
Namun, kehadiran simbol-simbol "kota" itu tak langsung menyulap kehidupan warga Marunda. Dengan penduduk sekitar 13 ribu jiwa, perubahan status sosial di Marunda masih berlangsung sangat lamban. Ini jika komposisi penduduk menurut jenis pekerjaan bisa menjadi ukuran.
Data terakhir, dari sekitar tujuh ribu penduduk usia produktif di Marunda, sekitar 55 persennya bekerja di sektor tani dan nelayan. Jika dibandingkan dengan komposisi mata pencaharian warga Jakarta secara keseluruhan, data ini sangat menusuk mata. Maklum, di tahun 2002, warga Jakarta yang bekerja di sektor pertanian tidak lebih dari 0,9 persen.
Jika ditarik ke belakang, sebagian besar warga Marunda memang bekerja sebagai nelayan tradisional. Penuturan Yahya, 72 tahun, memberi gambaran tradisi sebagaian besar warga Marunda tempo dulu. Berbekal alat sero, pancing, atau jaring, kata Yahya, warga Marunda menghidupi sanak famili dengan menangkap ikan di laut. Turun di pagi buta, sekitar pukul 04.00, mereka baru naik ke darat ketika hari menjelang siang, sekitar pukul 10.00.
Tapi, lain dulu lain sekarang. Pekerjaan sebagai nelayan, kata Yahya, tak begitu lagi diminati warga asli Marunda. Pasalnya, penghasilan sebagai nelayan tak begitu menjanjikan. "Kini, nangkap ikan sulitnya setengah mati. Dulu, orang sini bisa naik haji dengan berbekal sero. Tak perlu jual tanah segala," kata Yahya mengenang masa lalunya.
Yahya sendiri sudah lama berhenti sebagai nelayan. Ia pun tak berniat mewariskan pekerjaan itu kepada anak cucunya. Kecuali, atas kemauan mereka sendiri. Buktinya, dari tiga anak dan empat menantu lelakinya, kini hanya satu yang masih suka melaut. "Itu pun, pendapatannya kagak bisa diarep-arep," ujar Yahya dengan logat Betawi yang sangat kental.
Kini, memang masih ada ratusan warga Marunda yang bekerja sebagai nelayan. Namun, menurut penuturan sejumlah warga, nelayan yang masih tersisa itu umunya bukan penduduk Marunda asli. Mereka adalah pendatang dari berbagai daerah, seperti Bugis, Jawa, dan Madura.
Dalam mencari kerja, generasi muda Marunda kini lebih berorientasi ke darat. Namun, karena terbentur rendahnya pendidikan, generasi muda Marunda umumnya hanya terserap di tingkat pekerja kasar. Petani tambak, buruh pabrik, atau tukang ojek menjadi ajang profesi mereka.
Farhan, 27 tahun, misalnya, sejak kecil tak pernah bermimpi jadi nelayan. Pemuda tamatan SMA program sosial itu lebih bercita-cita menjadi pegawai negeri atau pegawai kantoran.
Namun, mencari pekerjaan di daratan ternyata bukan hal gampangan. Sehingga, dua tahun lalu, Farhan nekat menjadi buruh di salah satu pabrik pengolahan kayu. Itu pun hanya bertahan satu setengah tahun. Sejak enam bulan silam, Farhan memilih keluar alias menganggur. "Saya kan masih muda. Kalau ada, saya mau alih profesi lah," ujarnya polos. Farhan seolah ingin menyuarakan aspirasi pemuda Marunda lainnya: ogah turun ke laut, tapi masih bingung harus pergi ke mana. (lintass)
Berita Media Online Jakarta Utara dari hal : http://www.jakartautara.com/article.php?storyid=8058