Ihsan bergelantungan di pipa tertinggi ”Jebak Kandang” karya para perupa Ambi Text, kelompok asal Yogyakarta yang menggagas instalasi pipa aneka warna di kolong jalan tol itu. Sementara Dedi menjulur-julurkan kepalanya di sela-sela rangkaian pipa ledeng yang tingginya sekitar 1,7 meter.
”Ada orang datang memasang mainan ini tadi malam. Tiga orang,” tutur Ihsan.
”Bukan, empat orang, ada bapak yang pakai topi,” balas Dedi.
Tak setiap hari kolong tol Jalan Lodan didatangi tamu baru. Kemunculan sejumlah seniman Ambi Text pada Selasa (13/12/2011) malam menjadi pembicaraan semua anak yang kini menikmati karya mereka.
Ambi Text bukan satu-satunya perupa Jakarta Biennale #14.2011 yang mempersembahkan karya mereka bagi anak-anak yang semakin kehilangan ruang bermain di Jakarta yang kian sesak. Di taman Terminal Kampung Rambutan, Jakarta Selatan, Komunitas Atap Alis sejak Minggu (11/12/2011) memamerkan puluhan ”patung” yang dibuat dari sampah plastik.
Mulai dari botol sabun, tetikus rusak, botol air mineral, kipas angin elektrik, mahkota trofi, dan banyak plastik bekas lainnya terangkai menjadi patung robot futuristik, pesawat luar angkasa, anjing, juga tank, bahkan terompet. Semua karya yang dicat hitam pekat itu disusun berjajar dalam palet kayu bercat merah dan putih, yang tersusun menjadi rak di pelataran taman itu.
”Semua karya itu dibuat sekitar 70 anak kawasan Kampung Rambutan yang belajar di Sanggar Atap Alis. Ini pertama kalinya komunitas kami dilibatkan dalam Jakarta Biennale. Karya anak-anak Kampung Rambutan menunjukkan kepada publik bahwa karya seni bisa dibuat dari apa saja, oleh siapa saja,” kata aktivis Atap Alis, Dody ”Baja” JM Panggabean.
Di Taman Ayodya, Jakarta Selatan, komunitas Wedha Potrait Art Project membuat lukisan potret besar orang-orang yang sehari-hari beraktivitas atau pernah beraktivitas di Taman Ayodya. Lukisan potret ala Wedha—seorang seniman dan ilustrator senior—kini berkembang menjadi gaya lukis potret yang diminati banyak orang.
Para pelukis potret ala Wedha tak hanya melukis wajah para seniman yang kerap mangkal di Taman Ayodya seperti Anto Baret, tetapi juga wajah orang kecil di sana. Mulai dari tukang parkir hingga penjaja makanan. Para desainer Jakarta yang tergabung dalam Artura Insanindo membuat burung mainan tradisional berukuran raksasa di Taman Menteng, Jakarta Pusat. Karya seni memberikan warna lain, Jakarta yang lebih ramah bagi warga, dan kaya nuansa.
Seni mural
Sejumlah kelompok seni mural, seperti Quint, Propagraphic, Begoendal, dan Egauseless, menggarap sejumlah tiang monorel di kawasan Senayan, mencoba mengurangi keangkeran balok beton tak terpakai itu. Tiap sudut ruang yang sesak didedak, disusupi aneka karya seni.
Namun, saking mampatnya Jakarta, upaya menghadirkan karya seni rupa yang berfungsi di ruang publik tak selalu mulus. Kelompok 12 Pas membuat jembatan bambu unik di Kali Kecil Jalan Minangkabau, Jakarta Pusat. Segera saja karya itu menjadi arena bermain baru bagi Adit (13), Ryan (11), Ipal (9), dan belasan anak lainnya.
Di tengah pengerjaan jembatan yang belum usai pada Minggu, belasan anak bermain riuh, bergelantungan tali pengikat jalinan bambu jembatan. ”Kami senang bisa bermain di jembatan itu, untuk menyeberang ke taman di seberang Kali Kecil, kami tak perlu lagi mencebur ke sungai,” tutur Sigit (11).
Namun, semuanya menjadi tidak terkendali pada Selasa. ”Kami sangat senang jembatan kami menjadi arena bermain anak-anak. Mungkin mereka jarang punya kesempatan bermain dan permainan mereka kian liar. Ada anak yang jatuh, nyaris tenggelam, membuat kami ngeri sendiri. Jembatan kami bahkan jadi arena tawuran antarkampung, tak kami sangka,” kata arsitek yang merancang konstruksi jembatan 12 Pas, Kusmeisanto, saat membangun ulang jembatan yang dipindahkan ke Taman Ismail Marzuki itu.
Sejumlah perupa juga kesulitan menempatkan karya mereka karena susahnya panitia memperoleh izin pemerintah untuk memasang karya di ruang publik. Tiga De Studio gagal menaruh tulisan raksasa ”Maximum City” di Bundaran Hotel Indonesia. Hasrat Irawan Karseno dan Leny R Weichert menghias pos polisi di Jalan Thamrin dengan aneka karya pun terkendala perizinan. Rencana komunitas Serrum memasang karya seni yang mengampanyekan perilaku berkereta api yang santun terkendala soal dana.
Kurator Jakarta Biennale #14.2011, Bambang Asrini Widjanarko, menyesalkan sulitnya mengurus perizinan memasang karya di ruang publik, yang membuat sejumlah karya gagal tertampilkan. ”Memang ada kelemahan perizinan dari kami selaku penyelenggara, namun sejumlah pengurusan izin juga terkendala kemauan pemerintah membuka ruang publik bagi karya seni,” kata Bambang.
Sedikit banyak seni publik yang dihadirkan Jakarta Biennale telah berinteraksi dengan warganya. ”Dan interaksi perupa, karya, dan warga melibatkan orang kebanyakan. Itu mendekatkan seni dengan publiknya. Selama ini Jakarta dikepung berbagai hal yang asing. Billboard iklan, misalnya, sebuah seni terapan yang kerap berjarak orang yang tinggal di lingkungannya. Seni publik para perupa Jakarta Biennale membalik keadaan itu,” kata Bambang.
Akankah publik menikmati lebih banyak karya publik hingga perhelatan Jakarta Biennale berakhir pada 15 Januari mendatang? Di sini seni diperlakukan sebagai wahana bagi publik untuk meraih ruang yang selama ini jauh dari jangkauan mereka. Seni bukan hanya hal-hal yang estetis di atas panggung atau galeri, melainkan juga ekspresi terapan untuk meraih sensasi keindahan.... (Aryo Wisanggeni G)
Sumber : kompas
