
DI belakang Pasar Bulog, Cilincing, Jakarta Utara, kehidupan para buruh Jakarta tergambar. Di balik riuhnya kegiatan jual beli di pasar tradisional itu, para buruh harus bertahan menahan selera berbelanja.
Kondisi permukiman yang sebagian besar kos-kosan para pekerja saling impit. Sampah berserakan di mana-mana. Setiap harinya para pekerja harus melalui sebuah tempat pembuangan sampah dengan bau menyengat.
Rumah kos-kosan terbentang seperti asrama militer. Harga membedakan besar kecilnya rumah kos. Tak sedikit pekerja yang memilih tinggal berdua atau bertiga sekamar demi mengirit biaya. Rentang harga yang ditawarkan berkisar Rp250 ribu-Rp350 ribu per bulan.
Bangunan berhimpitan menyebabkan udara pengap. Mereka hidup sederhana. Kamar hanya berisi karpet dan kasur tidur. Di dalam kamar itu pula pakaian dijemur.
Siti Nuraeni, 19, buruh PT Misung, telah menyiapkan ember untuk menampung air hujan karena genteng kosnya bocor. Siti, yang tinggal berdua dengan Mina Aristiana, memilih tinggal bersama untuk mengirit biaya.
Buruh yang baru tiga bulan bekerja di pabrik pembuatan rambut palsu itu harus hidup dengan pas-pasan. Siti hanya mendapatkan pendapatan Rp1 juta per bulan. Kadang Siti harus berutang untuk makan.
"Kalau sudah akhir bulan, ya ngebon (utang) dulu buat makan, nanti gajian dibayar," tuturnya, Selasa (14/2). Gaji yang terbatas itu sering pula dipakai buat beli air isi ulang karena air PAM di kontrakan Siti keruh dan berwarna cokelat.
Kondisi tak jauh beda dialami buruh PT Metal Diameta di Pulo Gadung, Jakarta Timur. Setiap kamar kosan berisi 2-3 orang pekerja. "Mereka sering mengutang uang kontrakan," cetus Darmanto, warga Warung Jengkol, Pulo Gadung, menggambarkan bagaimana prihatinnya kehidupan buruh pabrik baut tersebut.
Pemerintah Provinsi DKI telah menetapkan upah minimum provinsi (UMP) sebesar Rp1.497.838 pada 2012. Namun, angka itu belum merata diterapkan di semua pabrik. Siti Nuraeni sendiri masih menerima Rp1 juta per bulan.
Dalam kaitan itulah sekitar 200 buruh menggelar aksi unjuk rasa di depan Balai Kota DKI, Jakarta Pusat, Selasa (14/2). Mereka resah karena mendengar kabar Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi DKI Deded Sukandar menganulir keputusan Dewan Pengupahan DKI.
"Kabar yang kami terima, Pak Deded menganulir karena menganggap bias. Kami menuntut supaya upah minimum sektoral provinsi (UMSP) lebih tinggi daripada daerah penyangga (Bodetabek)," papar Ketua Sektor Ritel/Commerce Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia Encep Supriyadi.
Sudah ideal
Deded Sukandar menegaskan tidak ada masalah dengan UMP maupun UMSP. "Upah buruh Jakarta sudah ideal. UMP 2012 ditetapkan 102% dari standar survei kebutuhan hidup layak (KHL)," ujarnya.
Penetapan UMP dilaksanakan secara tripartit mengikutsertakan unsur pemerintah. Penghitungan UMP berdasarkan beberapa faktor mulai dari tingkat inflasi hingga tingkat penyerapan tenaga kerja. Tak hanya itu, penetapan UMP juga harus didasari pada 46 komponen KHL.
Menurut Deded, demo di depan Balai Kota DKI, Selasa (14/2), lebih disebabkan kekecewaan sebagian buruh karena sektor ritel tidak masuk UMSP.
Deded menjelaskan tim kecil yang mengkaji sektor ritel tidak mampu memberikan rekomendasi kepada Dewan Pengupahan DKI untuk dijadikan sektor unggulan.
"Jadi karena solidaritas buruh, mereka ikut-ikutan meminta UMP dan UMSP naik. Soal ritel yang tidak masuk UMSP, saya butuh waktu untuk mengkaji kembali. Kajian ini butuh tim akademisi dari Universitas Indonesia, Bank Indonesia, maupun lembaga-lembaga independen lainnya. Itu masalahnya, kami butuh dasar hukumnya," paparnya.
Berbeda dengan UMP, UMSP ditetapkan atas kesepakatan bipartit antara unsur pekerja dan pengusaha. Deded mencontohkan, pada sektor otomotif, rapat penentuan UMSP ditetapkan pengusaha yang memiliki bisnis otomotif dengan serikat pekerja di bawahnya.
Setelah berunding dan sepakat, hasilnya diserahkan ke Disnakertrans DKI untuk dibawa ke Gubernur DKI. "Kalau ada ketidaksesuaian, silakan berkirim surat ke gubernur karena kami tidak ikut dalam pembahasan itu," jelasnya.
Terkait dengan tuntutan buruh agar UMSP lebih tinggi daripada daerah penyangga, menurut Deded, justru Bodetabek mengintip bagaimana cara Jakarta menetapkan UMSP. Hingga kini UMSP DKI masih tetap tertinggi se-Indonesia. "Bahkan ada sektor yang UMSP-nya naik 30%," jelas Deded.
Soal hitung-hitungan, memang selalu ada perbedaan antara perusahaan dan buruh. Perusahaan ingin menekan upah karena harus menghidupi ribuan buruh, sedangkan buruh ingin upah disesuaikan dengan kenaikan kebutuhan pokok yang terus melambung.
Begitulah ironi buruh, mereka bekerja untuk memenuhi kebutuhan orang lain, sedangkan kebutuhan mereka sendiri belum terpenuhi. (Ssr/*/J-1)
Kondisi permukiman yang sebagian besar kos-kosan para pekerja saling impit. Sampah berserakan di mana-mana. Setiap harinya para pekerja harus melalui sebuah tempat pembuangan sampah dengan bau menyengat.
Rumah kos-kosan terbentang seperti asrama militer. Harga membedakan besar kecilnya rumah kos. Tak sedikit pekerja yang memilih tinggal berdua atau bertiga sekamar demi mengirit biaya. Rentang harga yang ditawarkan berkisar Rp250 ribu-Rp350 ribu per bulan.
Bangunan berhimpitan menyebabkan udara pengap. Mereka hidup sederhana. Kamar hanya berisi karpet dan kasur tidur. Di dalam kamar itu pula pakaian dijemur.
Siti Nuraeni, 19, buruh PT Misung, telah menyiapkan ember untuk menampung air hujan karena genteng kosnya bocor. Siti, yang tinggal berdua dengan Mina Aristiana, memilih tinggal bersama untuk mengirit biaya.
Buruh yang baru tiga bulan bekerja di pabrik pembuatan rambut palsu itu harus hidup dengan pas-pasan. Siti hanya mendapatkan pendapatan Rp1 juta per bulan. Kadang Siti harus berutang untuk makan.
"Kalau sudah akhir bulan, ya ngebon (utang) dulu buat makan, nanti gajian dibayar," tuturnya, Selasa (14/2). Gaji yang terbatas itu sering pula dipakai buat beli air isi ulang karena air PAM di kontrakan Siti keruh dan berwarna cokelat.
Kondisi tak jauh beda dialami buruh PT Metal Diameta di Pulo Gadung, Jakarta Timur. Setiap kamar kosan berisi 2-3 orang pekerja. "Mereka sering mengutang uang kontrakan," cetus Darmanto, warga Warung Jengkol, Pulo Gadung, menggambarkan bagaimana prihatinnya kehidupan buruh pabrik baut tersebut.
Pemerintah Provinsi DKI telah menetapkan upah minimum provinsi (UMP) sebesar Rp1.497.838 pada 2012. Namun, angka itu belum merata diterapkan di semua pabrik. Siti Nuraeni sendiri masih menerima Rp1 juta per bulan.
Dalam kaitan itulah sekitar 200 buruh menggelar aksi unjuk rasa di depan Balai Kota DKI, Jakarta Pusat, Selasa (14/2). Mereka resah karena mendengar kabar Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi DKI Deded Sukandar menganulir keputusan Dewan Pengupahan DKI.
"Kabar yang kami terima, Pak Deded menganulir karena menganggap bias. Kami menuntut supaya upah minimum sektoral provinsi (UMSP) lebih tinggi daripada daerah penyangga (Bodetabek)," papar Ketua Sektor Ritel/Commerce Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia Encep Supriyadi.
Sudah ideal
Deded Sukandar menegaskan tidak ada masalah dengan UMP maupun UMSP. "Upah buruh Jakarta sudah ideal. UMP 2012 ditetapkan 102% dari standar survei kebutuhan hidup layak (KHL)," ujarnya.
Penetapan UMP dilaksanakan secara tripartit mengikutsertakan unsur pemerintah. Penghitungan UMP berdasarkan beberapa faktor mulai dari tingkat inflasi hingga tingkat penyerapan tenaga kerja. Tak hanya itu, penetapan UMP juga harus didasari pada 46 komponen KHL.
Menurut Deded, demo di depan Balai Kota DKI, Selasa (14/2), lebih disebabkan kekecewaan sebagian buruh karena sektor ritel tidak masuk UMSP.
Deded menjelaskan tim kecil yang mengkaji sektor ritel tidak mampu memberikan rekomendasi kepada Dewan Pengupahan DKI untuk dijadikan sektor unggulan.
"Jadi karena solidaritas buruh, mereka ikut-ikutan meminta UMP dan UMSP naik. Soal ritel yang tidak masuk UMSP, saya butuh waktu untuk mengkaji kembali. Kajian ini butuh tim akademisi dari Universitas Indonesia, Bank Indonesia, maupun lembaga-lembaga independen lainnya. Itu masalahnya, kami butuh dasar hukumnya," paparnya.
Berbeda dengan UMP, UMSP ditetapkan atas kesepakatan bipartit antara unsur pekerja dan pengusaha. Deded mencontohkan, pada sektor otomotif, rapat penentuan UMSP ditetapkan pengusaha yang memiliki bisnis otomotif dengan serikat pekerja di bawahnya.
Setelah berunding dan sepakat, hasilnya diserahkan ke Disnakertrans DKI untuk dibawa ke Gubernur DKI. "Kalau ada ketidaksesuaian, silakan berkirim surat ke gubernur karena kami tidak ikut dalam pembahasan itu," jelasnya.
Terkait dengan tuntutan buruh agar UMSP lebih tinggi daripada daerah penyangga, menurut Deded, justru Bodetabek mengintip bagaimana cara Jakarta menetapkan UMSP. Hingga kini UMSP DKI masih tetap tertinggi se-Indonesia. "Bahkan ada sektor yang UMSP-nya naik 30%," jelas Deded.
Soal hitung-hitungan, memang selalu ada perbedaan antara perusahaan dan buruh. Perusahaan ingin menekan upah karena harus menghidupi ribuan buruh, sedangkan buruh ingin upah disesuaikan dengan kenaikan kebutuhan pokok yang terus melambung.
Begitulah ironi buruh, mereka bekerja untuk memenuhi kebutuhan orang lain, sedangkan kebutuhan mereka sendiri belum terpenuhi. (Ssr/*/J-1)
Sumber : mediaindonesia. com