Malang benar nasib SA, siswi kelas 6 SD Negeri 13 Tugu Utara, Koja, Jakarta Utara. Di usianya yang masih muda, 14 tahun, SA sudah dipekerjakan sebagai penyanyi di klab malam.Padahal, anak ketiga dari enam bersaudara, dari pasangan Aminah (32) dan Taman (37) yang sehari-hari bekerja sebagai pengamen ini, memiliki cita-cita yang mulia. Yakni sebagai polisi wanita (Polwan).
Ibu SA, Aminah, mengatakan keinginan untuk bekerja di klab malam hingga dini hari datang dari diri anaknya sendiri."SA berangkat kerja jam 9 malam. Pulang ke rumah sekitar jam 2-3 pagi. SA saya ijinkan menyanyi karena dia memang suka menyanyi," ujar Aminah ketika ditemui di kediamannya di Kampung Beting, Jakarta Utara, Selasa, 24 April 2012.
Menurut Aminah, SA sudah bekerja di klub malam tersebut sejak satu minggu yang lalu. Selama itu, Aminah mengaku tak pernah mendengar keluhan sedikit pun dari anaknya itu. Bahkan dia mengaku prestasi SA di sekolah baik-baik saja, terutama pada mata pelajaran bahasa Inggris yang disukainya.
"Penghasilan SA dari bekerja di kafe sehari Rp25-50 ribu," katanya.
Berbeda dengan pengakuan Aminah, Rahmat Hidayat (18), kakak pertama SA, mengatakan adiknya bekerja lantaran terpaksa untuk menebus motor. Dia pun menuturkan SA sudah bekerja di klub malam sejak dua minggu lalu dan sempat membolos sekolah selama dua hari. Dalam sehari SA bisa mengantongi penghasilan hingga Rp150 ribu.
"Awalnya buat nebus motor, seminggu pertama dikasih Rp1,5 juta. Harus diganti dari gaji dia, sebulan dapat Rp200 ribu," tuturnya.
KPAI DATANGI DAN TEGUR ORANGTUA SISWA
Tim Komisi Perlindungan Anak (KPAI) bersama dengan sejumlah petugas dari Kementerian Sosial mendatangi rumah siswa kelas 6 SD yang bekerja sebagai penyanyi klab malam di Koja, Jakarta Utara, kemarin.
SA, yang masih berusia 14 tahun, bernyanyi hingga malam di kafe-kafe atau klab. Sedangkan paginya SA harus tetap bersekolah.Beban SA pun semakin bertambah, sebab dia harus mengikuti Ujian Nasional.
Untuk menuju rumah SA pun di kawasan Kampung Beting, Tugu Utara, Koja butuh perjuangan. Gang-gang sempit yang dilalui hanya selebar bahu orang dewasa. Lorong gelap dan pemukiman rapat nan-padat penduduk menjadi pemandangan biasa. Tim KPAI sempat ditolak kedatangannya oleh orang tua SA. Namun, setelah beberapa lama, tim KPAI dan Kemensos akhirnya diizinkan bertemu SA.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menduga orang tua SA melakukan transaksi penjualan anak di bawah umur. Sebelumnya, menurut informasi KPAI, anak ke-2 dan ke-4 dari pasangan ini juga sudah dijual kepada pria hidung belang.
"Persoalan mendasar dari kasus ini adalah sulitnya mengakses sumber-sumber penghasilan yang cukup. Dan ini hanyalah fenomena gunung es. Mereka terpuruk karena pemerintah gagal menyiapkan infrastruktur yang layak bagi mereka," ujar Sekretaris KPAI, M Ikhsan, saat mengunjungi kediaman SA.
Ikhsan pun mengatakan anak yang bekerja hingga tengah malam, rawan pelecehan seksual, terjerumus dalam aktivitas transaksi seksual, kekerasan, dan perdagangan perempuan. "Tidak ada satu pun pembenaran dalam kasus seperti ini," tegasnya.
Data KPAI pada 2010 menunjukkan bahwa jumlah anak yang bekerja mencapai 2,3 juta anak. Mereka bekerja di industri, jalanan, dan lain sebagainya. Anak-anak ini rentan dengan kekerasan, dan eksploitasi (BIAN)
Ibu SA, Aminah, mengatakan keinginan untuk bekerja di klab malam hingga dini hari datang dari diri anaknya sendiri."SA berangkat kerja jam 9 malam. Pulang ke rumah sekitar jam 2-3 pagi. SA saya ijinkan menyanyi karena dia memang suka menyanyi," ujar Aminah ketika ditemui di kediamannya di Kampung Beting, Jakarta Utara, Selasa, 24 April 2012.
Menurut Aminah, SA sudah bekerja di klub malam tersebut sejak satu minggu yang lalu. Selama itu, Aminah mengaku tak pernah mendengar keluhan sedikit pun dari anaknya itu. Bahkan dia mengaku prestasi SA di sekolah baik-baik saja, terutama pada mata pelajaran bahasa Inggris yang disukainya.
"Penghasilan SA dari bekerja di kafe sehari Rp25-50 ribu," katanya.
Berbeda dengan pengakuan Aminah, Rahmat Hidayat (18), kakak pertama SA, mengatakan adiknya bekerja lantaran terpaksa untuk menebus motor. Dia pun menuturkan SA sudah bekerja di klub malam sejak dua minggu lalu dan sempat membolos sekolah selama dua hari. Dalam sehari SA bisa mengantongi penghasilan hingga Rp150 ribu.
"Awalnya buat nebus motor, seminggu pertama dikasih Rp1,5 juta. Harus diganti dari gaji dia, sebulan dapat Rp200 ribu," tuturnya.
KPAI DATANGI DAN TEGUR ORANGTUA SISWA
Tim Komisi Perlindungan Anak (KPAI) bersama dengan sejumlah petugas dari Kementerian Sosial mendatangi rumah siswa kelas 6 SD yang bekerja sebagai penyanyi klab malam di Koja, Jakarta Utara, kemarin.
SA, yang masih berusia 14 tahun, bernyanyi hingga malam di kafe-kafe atau klab. Sedangkan paginya SA harus tetap bersekolah.Beban SA pun semakin bertambah, sebab dia harus mengikuti Ujian Nasional.
Untuk menuju rumah SA pun di kawasan Kampung Beting, Tugu Utara, Koja butuh perjuangan. Gang-gang sempit yang dilalui hanya selebar bahu orang dewasa. Lorong gelap dan pemukiman rapat nan-padat penduduk menjadi pemandangan biasa. Tim KPAI sempat ditolak kedatangannya oleh orang tua SA. Namun, setelah beberapa lama, tim KPAI dan Kemensos akhirnya diizinkan bertemu SA.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menduga orang tua SA melakukan transaksi penjualan anak di bawah umur. Sebelumnya, menurut informasi KPAI, anak ke-2 dan ke-4 dari pasangan ini juga sudah dijual kepada pria hidung belang.
"Persoalan mendasar dari kasus ini adalah sulitnya mengakses sumber-sumber penghasilan yang cukup. Dan ini hanyalah fenomena gunung es. Mereka terpuruk karena pemerintah gagal menyiapkan infrastruktur yang layak bagi mereka," ujar Sekretaris KPAI, M Ikhsan, saat mengunjungi kediaman SA.
Ikhsan pun mengatakan anak yang bekerja hingga tengah malam, rawan pelecehan seksual, terjerumus dalam aktivitas transaksi seksual, kekerasan, dan perdagangan perempuan. "Tidak ada satu pun pembenaran dalam kasus seperti ini," tegasnya.
Data KPAI pada 2010 menunjukkan bahwa jumlah anak yang bekerja mencapai 2,3 juta anak. Mereka bekerja di industri, jalanan, dan lain sebagainya. Anak-anak ini rentan dengan kekerasan, dan eksploitasi (BIAN)